Wednesday, October 31, 2007

Efficiency Analysis of Cantrang and Gillnet Gears in Pemalang Regency, Central Java, Indonesia


by Himawan Arif S.

ABSTRACT

Fishers in Pemalang are small-scale in scale colored with traditional in nature particularly in allocation of inputs used.
The aim of this study is to analyse an efficiency (technical, allocative and economic) in input use of gillnet and cantrang gears in Pemalang Regency. Efficiency is the ratio output its input to achieve maximum production. The study also covered the cost and return analyse for the observed gears. Sampling method of multistages sampling is use to withdrawn. 125 gillnetters in TPI Tanjungsari and 100 cantrang fishers gears in TPI Asemdoyong. Frontier analysis with Maximum Likelihood Estimation (MLE) was used to analyze the data using LIMDEP Version 6.
The results indicates that majority of capture fisheries performed that the efficiency Gillnet has reached technical efficiency more than 80%. While cantrang is about 50% to 80%. The value of technical efficiency of gillnet is 0,880 and cantrang for 0,620. The value of allocative efficiency gillnet fishers equal to 1,820 while cantrang fish equal to 3,101. The gillnet economic efficiency is 1,601 and 1,922 for cantrang fishers. Technical, alocative and economic efficiency have catch equal to 1. Nevertheless small scale fishers are marginally in profit, such as shown by value of return and cost (R/C) ratio is 1,32 for gillnet and Cantrang equal 1,18.
An appropriate inputs allocation according to need will be maintained. Small scale fisheries in Pemalang still be amendable, but need existence government to control such as gears operation. This is in order to achieve the sustainable fishers resource fish stock.


Key word : Production, Efficiency , Frontier Analysis, Pemalang, Indonesia
if you want need full text in Bahasa Indonesia, you can contact me: himawan_miesp@yahoo.com

Tuesday, October 30, 2007

Global Waming - A Threat To Humanity And Environment

Scientists have already warned the world of the possible results of global warming some thirty years ago. After present day wars it is the biggest threat to our way of life. Due to the change of climate which is the result of global warming, droughts affect crops and livestock production, sea level are rising, glaciers are melting, floods and landslides aggravate, destructive storms prevail.
These are some of the catastrophes brought about which require speedy solutions and a strong resolve to cope with the situation. But have we done anything to rectify the problem? Do we allow it to carry on without fighting it? Now it has grown to such huge proportion that a worldwide effort of every country and government is required to promote awareness among the population on how to alleviate the situation. Governments should not only foster action among individual citizens and corporations, but also among other countries worldwide.This cooperation of government with its citizens and companies and with other countries should aim to grow research and experimentation on the long term effect of climate change.
How will it affect our rain forests and the world's major bodies of water like the oceans, lakes, rivers, and the livelihood of people who are depending on them. Addressing all such environmental issues is desperately needed to tackle the effect of global warming. We need to start reducing carbon emission and emission of other greenhouse gases, teach people about climate change issues and what practical solutions can be done.Each country has to map out of how much carbon dioxide and greenhouse gases it produces and emits into the atmosphere and in the same way it has to decide how much greening of the environment through reforestation in the rural areas and planting of plants and trees in urban areas is needed to neutralize these harmful gases emitted into the air. Once these gases are in the atmosphere, they stay there for a long time thus trapping the heat in the lower atmosphere and radiating some of it back to earth. With huge amount of carbon dioxide and greenhouse gases in the atmosphere it would increase the global surface temperature, thus higher sea levels, melting the north and south pole glaciersordercausing drought, and disrupting not only the natural balance of world's climate but the ecological balance of the environment as well.Through environmental awareness, every individual can help in his own little way to combat global warming.
Every little thing you can do at home in the use of gas emitting equipment or vehicles will help. You need to minimize their use if you cannot totally avoid them. Any equipment or vehicle using oil and gas produces carbon dioxide. Greenhouse gas is emitted by compressor-run equipment like airconditioning units, refrigeration and freezing units, etc. which need to be reduced because of the effect it can bring to our ozone layer.These gases are the most devastating global warming gases which remain in the atmosphere for a long time. Energy efficient appliances should be encouraged and by saving energy help reduce gas emission of power plant generators generating electricity. So it is better to discard inefficient equipments and switch off the appliances, lights and compressor-run equipment when not in use. If you are going somewhere not far from your home try walking, it is not only a good exercise but you also help save the environment from deteriorating.(This article is adapted from an article written byh Arnold Cafe who is an active online marketer and the author of Ideas Galore.)

Article Source: http://www.bestglobalwarmingarticles.com

Monday, October 29, 2007

Hutan Indonesia Menjelang Kepunahan

Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian dianataranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003]. Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa oleh pohon tinggal 4 %.
PulauJawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya. Dampak Kerusakan HutanDengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003].
Selain itu, Indonesia juga akan kehilangan beragam hewan dan tumbuhan yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sementara itu, hutan Indonesia selama ini merupakan sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia. Hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan serta menjadi tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan hilangnya hutan di Indonesia, menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, menunjukkan semakin tingginya tingkat kemiskinan rakyat Indonesia, dan sebagian masyarakat miskin di Indonesia hidup berdampingan dengan hutan.
Apa hanya itu?Hutan Indonesia juga merupakan paru-paru dunia, yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi ini.
Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat.
Mengapa Hutan Kita Rusak?Industri perkayuan di Indonesia memiliki kapasitas produksi sangat tinggi dibanding ketersediaan kayu. Pengusaha kayu melakukan penebangan tak terkendali dan merusak, pengusaha perkebunan membuka perkebunan yang sangat luas, serta pengusaha pertambangan membuka kawasan-kawasan hutan.
Sementara itu rakyat digusur dan dipinggirkan dalam pengelolaan hutan yang mengakibatkan rakyat tak lagi punya akses terhadap hutan mereka.
Dan hal ini juga diperparah dengan kondisi pemerintahan yang korup, dimana hutan dianggap sebagai sumber uang dan dapat dikuras habis untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Bagaimana itu terjadi?Penebangan hutan di Indonesia yang tak terkendali telah dimulai sejak akhir tahun 1960-an, yang dikenal dengan banjir-kap, dimana orang melakukan penebangan kayu secara manual. Penebangan hutan skala besar dimulai pada tahun 1970. Dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya ijin-ijin pengusahaan hutan tanaman industri di tahun 1990, yang melakukan tebang habis (land clearing).
Selain itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala besar yang juga melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan perkotaan.
Di tahun 1999, setelah otonomi dimulai, pemerintah daerah membagi-bagikan kawasan hutannya kepada pengusaha daerah dalam bentuk hak pengusahaan skala kecil. Di saat yang sama juga terjadi peningkatan aktivitas penebangan hutan tanpa ijin yang tak terkendali oleh kelompok masyarakat yang dibiayai pemodal (cukong) yang dilindungi oleh aparat pemerintah dan keamanan.
Upaya Yang Dilakukan
Pemerintah Indonesia melalui keputusan bersama Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan sejak tahun 2001 telah mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan baku serpih. Dan di tahun 2003, Departemen Kehutanan telah menurunkan jatah tebang tahunan (jumlah yang boleh ditebang oleh pengusaha hutan) menjadi 6,8 juta meter kubik setahun dan akan diturunkan lagi di tahun 2004 menjadi 5,7 juta meter kubik setahun.
Pemerintah juga telah membentuk Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) yang bertugas untuk melakukan penyesuaian produksi industri kehutanan dengan ketersediaan bahan baku dari hutan.
Selain itu, Pemerintah juga telah berkomitmen untuk melakukan pemberantasan illegal logging dan juga melakukan rehabilitasi hutan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang diharapkan di tahun 2008 akan dihutankan kembali areal seluas tiga juta hektar.
Hasil Yang Diperoleh
Sayangnya Pemerintah masih menjalankan itu semua sebagai sebuah ucapan belaka tanpa adanya sebuah realisasi di lapangan. Hingga tahun 2002 masih dilakukan ekspor kayu bulat yang menunjukkan adanya pelanggaran dari kebijakan pemerintah sendiri. Dan pemerintah masih akan memberikan ijin pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman seluas 900-an ribu hektar kepada pengusaha melalui pelelangan. Pemerintah juga belum memiliki perencanaan menyeluruh untuk memperbaiki kerusakan hutan melalui rehabilitasi, namun kegiatan tersebut dipaksakan untuk dilaksanakan, yang tentunya akan mengakibatkan terjadinya salah sasaran dan kemungkinan terjadinya kegagalan dalam pelaksanaan.
Hal yang terpenting dan belum dilakukan pemerintah saat ini adalah menutup industri perkayuan Indonesia yang memiliki banyak utang. Pemerintah juga belum menyesuaikan produksi industri dengan kemampuan penyediaan bahan baku kayu bagi industri oleh hutan. Hal ini dapat mengakibatkan kegiatan penebangan hutan tanpa ijin akan terus berlangsung.
Dan dengan hanya menurunkan jatah tebang tahunan, maka kita masih belum bisa membedakan mana kayu yang sah dan yang tidak sah. Bila saja pemerintah untuk sementara waktu menghentikan pemberian jatah tebang, maka dapat dipastikan bahwa semua kayu yang keluar dari hutan adalah kayu yang tidak sah atau illegal, sehingga penegakan hukum bisa dilakukan.
Apa yang seharusnya dilakukan?
Untuk menghentikan kerusakan hutan di Indonesia, maka pemerintah harus mulai serius untuk tidak lagi mengeluarkan ijin-ijin baru pengusahaan hutan, pemanfaatan kayu maupun perkebunan, serta melakukan penegakan hukum terhadap pelaku ekspor kayu bulat dan bahan baku serpih. Pemerintah juga harus melakukan uji menyeluruh terhadap kinerja industri kehutanan dan melakukan penegakan hukum bagi industri yang bermasalah. Setelah tahapan ini, perlu dilakukan penataan kembali kawasan hutan yang rusak dan juga menangani dampak sosial akibat penghentian penebangan hutan, misalkan dengan mempekerjakan pekerja industri kehutanan dalam proyek penanaman pohon.
Kemudian, bila telah tertata kembali sistem pengelolaan hutan, maka pemberian ijin penebangan kayu hanya pada hutan tanaman atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat lokal.Selama penghentian sementara [moratorium] dijalankan, industri-industri kayu tetap dapat jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia.
Dan yang terpenting adalah mengembalikan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan hutan, karena rakyat Indonesia sejak lama telah mampu mengelola hutan Indonesia.
Dapatkah individu membantu?
Ya, dengan melakukan lobby, menulis surat ataupun melakukan tekanan kepada pemerintah agar serius menjaga hutan Indonesia yang tersisa. Selain itu, lakukan pengawasan terhadap peredaran kayu di wilayah terdekat, dan berikan laporan kepada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) terdekat ataupun lembaga non pemerintah lainnya dan kepada instansi penegak hukum, serta media massa, bila menemukan terjadinya peredaran kayu tanpa ijin maupun kegiatan pengrusakan hutan.
Dan mulailah menanam pohon untuk kebutuhan kayu keluarga di masa datang, memanfaatkan kayu dengan bijak dan tidak lagi membeli kayu-kayu hasil penebangan yang merusak hutan.
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Rully Syumanda
Pengkampanye Isu Hutan
Email Rully Syumanda Email Rully Syumanda
Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363
Mobile:Fax: +62-(0)21-794 1673
sumber:http://www.walhi.or.id/

MANGROVE

Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macneae, 1968). Adapun dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Adapun menurut Aksornkoe (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi atau bersifat alkalin) yang hidup disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Ada beberapa istilah lain dari hutan mangrove :
Tidal Forest : Hutan pasang surut
Coastal Woodland : Kebun kayu pesisir
Coastal Woodland : Hutan banjir
Hutan payau : Dilihat dari campuran airnya (asin dan tawar) atau dalam bahasa melayu disebut hutan paya
Hutan bakau : Sebenarnya bukan istilah yang tepat karena bakau adalah salah satu jenis dari mangrove tapi istilah ini sudah berkembang secara umum di masayarakat

Adapun manfaat dan fungsi dari mangrove antara lain :

  1. Sebagai peredam gelombang dan angin, pelindung dari abrasi, penahan intrusi air laut ke darat, penahan lumpur dan perangkap sedimen.
  2. Penghasil sejumlah besar detritus (hara) bagi plankton yang merupakan sumber makanan utama biota laut.
  3. Daerah asuhan (nursery grounds), tempat mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.
  4. Penghasil kayu konstruksi, kayu baker, bahan baku arang, dan bahan baku kertas.
    Pemasok larva (nener) ikan, udang dan biota laut lainnya.
  5. Habitat bagi beberapa satwa liar, seperti burung, reptilia (biawak, ular), dan mamalia (monyet)
    Sebagai tempat ekowisata

sumber:http://www.mangrovecentre.or.id

Google